Tampilkan postingan dengan label esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label esai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Desember 2015

Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia

Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia, Sebuah dokumen kesaksian Reformasi Negeri
Oleh: Rg Bagus Warsono


Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia, Sebuah dokumen kesaksian Reformasi Negeri
Oleh: Rg Bagus Warsono
Keputus-asa-an akan perubahan diperlihatkan  oleh puisi Ade Suryani dalam ‘Kalian memang Mengalami Sengsara’ , Ade mengetengahkan suatu kegembiraan di masa Reformsi ini dengan jaminan Bantuan Langsung Tunai yang kemudian menghilang lagi. bagi si miskin, jaminan hidup ini sungguh sangat bermanfaatmenyambung hidup. …//“Ibu terima dana kaum miskin dikala ibu tak memasak”//…, yang mungkin merupakan rekaman pengakuan rakyat miskin akan realisasi amanat undang-undang ini.
Sebuah kegembiraan lainnya adalah perubahan yang justru dialami oleh pribadi, sang ibu hanya dapat mengelus dada, seakan memaafkan bahwa , memang anak-anak (rakyat Indnesia) mengalami kesengsaraan di masa sebelumnya. Ade seakan mengharap untuk memaklumi akan perilaku konsumtif masytarakat.
Apa yang dikatakan Ade Suryani ditegaskan pula oleh Ardi Susanti agar mereka bicara akan apa yang terjadi di masa reformasi yang justru tak sama sekali ada perubahan membaik justrumenjadi-jadi,….//Jangan biarkan mereka mengotori ruang kita
Dengan ambisi murahan yang meraja
Demi menggemukkan hasrat semata//….dalam puisi “Bicaralah Nak”. Seperti juga diungkapkan oleh Tasinah: …//Ribuan orang berkumpul di halaman //Menerjang masuk kantor pos besarLalu melompat pagar Satu-satu mereka dipanggil , senyum si miskin dalam desakan//… (Tasinah, ‘Suatu hari di Kantor Pos Besar’).
Ungkapan kesaksian akan perubahan dratis terjadi di Bekasi yang direkam
Wahyu Ciptadalam:’Membakar Sampah Mie Instan’ :…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
Berhenti//Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…

Sus S Hardjono,penyair ini mengungkapkan perjalanan reformasi sendiri yang sampaimengorbankan  nyawa. Lewat
‘Saksi Bisu Jembatan Semanggi’
…//mereka yang tertembak mati
masih ingatkan tentang trisakti
Di bawah kepak Elang//
Menyinggung langit ibumu
Airmatanya saksi bisu sebutir peluru
Bersarang di kepelamu//…
Sebuah penyesalan ibu juga terdapat dalam puisi karya Diana Roosetindaro,  akan hilangnya sebuah wilayah Indonesia yang hilang di atlas Indonesia. “Negeri (yang) Hilang” dan “Hilang dalam Sebuah Atlas” sebuah….//kendaraan tiada henti ini adalah kota yang hina bukan karena perempuan lacur yang tiap siang-malam menjajakan diri// ….dalam penuturannya.Lain pula dengan Dian Hartati dalam ‘Karamah II’ ada sepenggal bait yang menggelitik , …//kusebut namamu tanpa malu meski kuyu wajahmu mencerminkan letih onani anak negri tentang korupsi hukum yg diplesetkan menjadi tontonan abad ini lalu lugas lidahku menyeru sebelem kelu ssiiiiiiikkkkaaaaaaatt... jangan kau loyo lantaran ulah sontoloyo tetap perkasa menjadi Indonesiaku//…. Seakan berkata Indonesia tetap optimis menghadapi semua kejadian di jalannya reformasi ini.

Ini sebabnya ibu kita ingin sekali memberi jalan perjalanan anak negeri …//Ibu lebih suka kau diam dan menulis lagi lembar catatan catatan berikutnya dan sekarang usiamu hampir separuh dari usia ibu, ibu tahu kau sudah melihat sendiri warna hitam putih juga abu abu yang kadang kau temui di liku jalan menuju rumah.//…Gia Setiawati  Gheeah ‘Lembar Cacatan Aisyah’.

Sorotan lain dalam bahasa puisi dilukiskan oleh Hartati dalam’ Semua Pamong Pakai Lencana’ ia menyoroti perilaku pegawai negeri saat reformasi justru malah menjadi-jadi demikian lukisannya :
 …//ibu menunggu
masih ada pamong jujur di kantor ini
tapi dia cuti hari ini
Kantor pemerintahanku
layar monitor di meja menyajikan data//…, dibagian lain Hartati menuliskan
…//maaf hari ini bapak dinas luar
besok pagi boleh ibu kembali
kantor pemerintahanku
bendera berkibar //…

Penyesalan juga diberikan perempuan penyair lainnya seperti puisi berjudul Kerjamu Sia-Sia ini:
…//memahami alam
memperbaiki sejarah dusta
menangkap maling
memberi fakir
Namun setelah 10 tahun gonjang-ganjing
pepesan kosong karena dimakan kucing garong//….Haryatiningsih dalam ,Kerjamu Sia-Sia’.

Sedang Julia Hartini mengungkapkan sebagaimana layaknya memposisikan sebagai seorang ibu yang senantiasa mendoakan anak-anaknya , ….//pada ibu selalu kutasbihkan doa-doamenjadi sempurna rindu menuju kepulangan//(Peristiwa Luka).Begitu juga Mariana Hanafi dalam Elegi Kekosongan Ibu diungkapkannya rasa kasih saying itu: ….// ibu menatap kosong
hatinya pilu,lumpuh
tak lagi mampu mengenali anaknya
dia lupa cara disayangi tapi mampu mengasihi
meski kini keriput menghampirinya
oh ibu,senjamu kini menanti//… Seirama juga ditampilkan oleh Nieranita :
….//Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup//
Berlinag air mata sang ibu
Malu lihat kebusungan dada para buntutnya
Wajah terpasang memelas
Di belakang seringai sinis  mulai Nampak
Menghina tanpa merajuk’’//…(Puisi untuk Anak Bangsa)

Jakarta Gelanggang Demonstrasi karya Sri Sunarti Basuki:
…//Ibu kota wajah Indonesia
Demo wajah Jakarta
Ingat Jakarta ingat demonstrasi
Karena Jakarta Ibukota Wajah Indonesia
Hari ini gelanggang sepi tapi
besok Demontran ke gelanggang Jakarta
Hari ini polisi bisa minum kopi dan sarapan pagi//…
Sebaliknya Putri Akina menganggap reformasi hanya isapan jempol belaka seperti dalam “TeriakanLirih”//Sengit mentari memancar di atas awan , Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup; Juga pada puisi lain menuturkan :
…//Ternyata Indonesia dulu dan sekarang sama
tak ada merubah warna
tak ada merubah cuaca
tak ada tawa
lelucon belaka
guyon nasional
humor basi tadi malam//….(Rofiah Ros dalam  ‘Mereka lupa dikasih Uang Ibu).

Di tempat lain dalam masa reformasi Indonesia itu Wahyu Cipta mengumpamakan seperti ‘Membakar Sampah Mie Instan’
…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
berhenti
Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…


….//Aku meyakini, ialah rangkuman peristiwa tentang cinta Terkemas menjelma uban ….// keriput dan langkah renta
Pada alur tangan, tempat takdir diletakkan
Lalu perlahan kau melewati
Dengan ketabahan ungu Tanpa gerutu,,
Sekalipun luka nyenyak,, di dadamu yang sajak,
Mak,//…(Seruni uniedalam Pulang).

Keadaan ini ditegaskan leh Wulan Ajeng Fitriani dalam ‘Jujur Tlah Dikubur’
//Ibupun ternganga
Tak menyangka
Hidup seberapakah kita di alam fana?
Mengapa tikus-tikus liar itu masih berdiri tegak disana?
Bagai pembantu yang menilap uang majikannya
Nampak kacang yang lupa kulitnya
Mengendap – endap mengambil jatah rakyat
Menilap rizki umat//….

Akhirnya sebuah dokumen kesaksian ibu di era reformasi ini ditiutup dengan …//Ibu izinkan pulang kerahimmu sebab takutgigil dan lapar menelan kutukmu.//…. Dyah Setyawati , katanya dalam ‘Pesan Rakyat Kepada wakil Rakyat’.


Rg Bagus warsono

Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Senin, 21 Desember 2015

Dari Patpat Gulipat sampai Dagelan

Dari Patpat Gulipat sampai Dagelan
Menyorti puisi Sekarepmu bukan hal yang biasa seperti pada puisi-puisi dengan tema lain. Sakarepmu dalam antologi ini memiliki keragaman isi karena ‘sekarepnya itu. Beberapa puisi tampak menggoda karena ada beberapa puisi yang diangkat dari tema yang lagi hangat di tahun 2015 tetapi ada beberapa puisi yang memiliki kekuatan yang tidak saja hangat pada tahun ini tetapi selalu ‘panas sepanjang masa. Kepiawaian penyair Sakarepmu akan ditemukan pada penyair-penyair yang tak asing bagi pecinta sastra khususnya puisi.
Ada beberapa puisi yang sanggup mencegah utuk tidak berhenti mengapresiasi dalam buku ini, tetapi yang mengupas puisi akan terpana bila menemukan syair yang menawan dipandang. Puisi Sakarepmu telah memberikan warna tersendiri dalam belantara sastra Indonesia terkini. Mari kita buktikan keistimewaan itu dengan apresiasi ‘sakarepmu.
Penyair Aan Jasudra, Agustav Triono, Ali Syamsudin Arsi, Aloeth Pathi, Anggi Putri menyuguhkan beragam tema menarik, sedangkan penyair Anggoro Suprapto, Arif Khilwa dan Ary Sastra tampak memberikan warna penghangat puisi yang membuka buku ini semakin menarik. Anggoro Suprapto dalam puisi Pahlawan Gembus (1) dan (2)//............/Sampai akhirnya datang seorang rahib buta/Negerimu belum merdeka, katanya/Rakyat jatuh dari mulut singa masuk ke mulut buaya/Jika dulu dijajah orang-orang asing/Sekarang dijajah bangsa sendiri/...//. Pahlawan Gembus (2)//..../Angin pun bertiup pelan/Udara mengabarkan/Di negeri ini atas nama rakyat/Muncullah para pahlawan/Mengaku membela kebenaran/Mengaku membela nusa bangsa/Tapi sesungguhnya mereka cidra/Hanya pahlawan gembus/Bicaranya nggedebus/Perilakunya ubas-ubus/Mlekethus//. Arif Khilwa penyair kelahiran Pathi pada puisi Senayan Beronani//.../Biarkan kelaminmu dikebiri/Air mani akan terus mengalir/Rahim bumi akan mengandung/Lahirkan generasi baru/Yang mampu teruskan Aumanmu/Sebelum mereka ditikam berita.//Ary Sastra penyair Padang dalam Negeri Patpatgulipat//.../di negeri patpatgulipat/banyak yang mengaku bermartabat/pura pura pegang amanat/eh tak tahunya penjahat/.../di negeri patpatgulipat/semuanya mengaku atas nama rakyat/
bergaya seperti ustad/uang rakyatpun disikat/...//.
Pada puisi-puisi Buana K.S, Budhi Setyawan tidak kalah menariknya, sedang Dasuki Kosim dengan Ada Google Traslate di Gedung DPR memberi warna Sakarepmu kehangatan itu. Mari kita lihat puisi Dasuki Kosim : Ada Google Traslate di Gedung DPR//Merubah bahasa rakyat /pengamat politik atau pakar universitas/Oleh corong mikrofun/Dimeja dewan , sehingga A jadi B dan kemudian A lagi lalu C/Google Traslate di Gedung DPR bicara sendiri/Lalu diamieni/...// dan perempuan penyair Denis Hilmawati juga bertutur tentang Perjalanan Panjang-nya.
Diah Natalia, Eddie MNS Soemanto, Eri Syofratmin dan Fernanda Rochman Ardhana serta Fitrah Anugerah memberikan judul-judul puisi yang menarik lagi.Berikut beberapa cuplikannya : Diah Natalia perempuan penyair kelahiran Jakarta pada puisi Sederhana//....../Kepada pezina bangsa,/Haruskah lebih banyak darah yang mengalir agar kita tahu betapa merahnya bendera kita?/Haruskah lebih banyak kain kafan, agar kita tahu betapa putih bendera kita?/Sederhana saja,/Jagalah impian kemerdekaan/Jadikan bangsa ini mumpuni/Damai dalam ahlak kesantunan/
Sejahtera dalam kemandirian//.Eddie MNS Soemanto pada puisi berjudul Sakarepmu penyair kelahiran Padang ini mengungkap bagaimana kemunafikan manusia , berikut cuplikannya://......./maka teruslah kamu bicara/teruskan puja-pujimu kepada pekerjaanmu/kepada pimpinanmu/ sementara puja-pujimu kepada Tuhan/
hanya mungkin, diletakkan sebagai pemanis/ karena itu semua gak ngaruh/
dengan sikap dan omonganmu/...// Eri Syofratmin penyair dari Muara Bungo pada puisi Ulat Bulu :puisi pendek yang sarat makna//Meraba satu/satu kena/kena semua/miyang/di garuk satu/satu kena/kena semua/gatal/dasar ulat bulu/menyebar di helai-helai/kebencian dan kedengkian//.Fernanda Rochman Ardhana kelahiran Jember pada puisi Sajak Penutup, berikut cuplikanya//../dari semok pantatmu kami kian mencumbui tanya://.........../“Inikah pemuas birahi yang Tuhan sajikan dari surga-Nya?”/hanya saja kami tak dapat nikmati, dari balik tudung/rambutmu berbiak di puncak alam pikir/lurus ataukah berkelok, hingga mampu mengumbar amal/bagi kami, lelaki penuh makrifat//.
Fitrah Anugerah penyair kelahiran Surabaya menulis Pada Celana Dalamku//..../Aku meluapkan kidung kegembiraan./ Aku menjerit pada ombak ganas.Tenggelam aku pada palung terdalam. /Agar ikan-ikan menemui tubuhku/Kau tahu akan kembali padamu pagi nanti di pinggir dermaga/Kau akan melihat ikan-ikan kecil terkumpul dalam celana dalam/Dari tubuhku kaku tak bernama//.Penyair Fitriyanti , Gampang Prawoto, Gunta Wirawan menambah semaraknya Sakarepmu, berikut cuplikannya: Kesunyian (Fitriyanti)//...../Walau hari-hariku tetap sendiri/Nan jauh dari ramainya perkotaan /Yang entah sampai kapan kan berakhir/ Tapi ku harus tetap tegar / Yah..tegar untuk jalani hidup /Sebagaimana yang sudah ditakdirkan Sang Pencipta//.
Sedang Gampang Prawoto penyair Bojonegoro menulis Sarijah Gadis Virtual
/...// batubatu beterbangan/membelah membutir kerikil/merias wajah semolek debu/
menghampiri celah dinding/dinding halus kuning langsat/Si cantik "Sarijah" gadis lugu/
lahir di desa tanpa listrik, sumur dan wc/besar di metropolitan/berseliweran mobil mewah/berbaju tak berkutang, berkutang tak berbaju/menjulang tinggi apartemenmewah berkemul kaca/berpenghuni tanpa katepe dan surat nikah/...//.
Gunta Wirawan penyair kelahiran Singkawang Kalimantan Barat menulis Surat Terbuka Untuk Asap//...../Asap/Kamu itu ya/tempingal1 alias bengal/Sudah berapa kali aku bilang/Jangan cemari udara di negeriku ini/Jangan sesakkan napas anak-anak kami//......../ Di Kalimantan/Orang utan dan bekantan kena isap/Napasnya turun-naik, berbunyi sit sit/Sebagian asmanya kambuh, sebagian batuk darah/Sebagian mati/................/Bukan salah pengusaha, bukan salah penguasa/Bukan karena rakyat durhaka/Sebab tabiat maksiat, tabiat manusia:/Urusan hutan terbakar, terbakarlah saja/Jangan pula kau yang mengambil kesempatan/Menari-nari di atas penderitaan kami/Menyebarkan dirimu di seantero negeri/..........//.
Harkoni Madura dalam Tilawah Tanah Air, Haryatiningsih dalam Rekaman Maling, Hasan Bisri BFC dalam Nenek, Nikita, dan Permen Itu, berikut cuplikannya Harkoni Madura penyair asal Sampang Madura pada Tilawah Tanah Air : //....../menilawah tanah air/yang kumandang bukan kidung, bukan tembang/tapi erang sengangar umpatan/atas nama luka sayat kemanusiaan/yang sempoyongan, dan pingsan di hutan-hutan/ //menilawah tanah air/serasa dipupur,intrik,teror,persibakuan/dan sengkarut persekongkolan/,,,//. Haryatiningsih bicara Rekaman Maling//...../Ada maling bicara maling/Direkam oleh maling/Maling dan maling direkam/Karena kemalingan//. Sedang Hasan Bisri BFC menyuguhkan puisi yang sangat menarik
berudul :Jangan Salahkan Aku.
Helmi Setyawan dengan Aku ini Guru, Heru Mugiarso pada Apa Agamamu menambah gairah pembaca //.../Meja kursi apa agamamu/kok setiap malam/tak pernah membaca kitab suci/Kelamin, apakah agamamu/mengapa tak berzikir/setiap kali bercinta/Apa agamamu/Mengapa tak sembahyang/jiwamu?//. Iis Sri Pebriyanti perempuan remaja penyair asal Indramayu di judul Pagi Hari//....../Dengan perasaan bahagia/Dan berharap hari ini akan lebih baik/Dari hari-hari sebelumnya//. Jen Kelana penyair dari Nganjuk menulis , Kuteriakkan Hujat, Muhammad Lefand dari Sumenep menulis pada Matra Sang Presiden Bukan Penyair. Marsetio Hariadi pada Cinta Melulu, juga bagus disimak kita lihat ://seperti kucing anggora saja/seperti hamster saja/seperti cihuahua saja/yang takut melihat banyak anjing lapar di jalanan/Cinta memang bangsat/.....//. Nanang Suryadi penyair dari Serang menulis Dongeng, Penyair Kok Mendongeng?//......./“kasihan kau penyair, sibuk dengan imajimu sendiri.” katanya kepada cermin, selesai mandi/ia membeli yoyo, dari pasar malam. ...........//.
Kemudia kita lihat berikutnya, Navys Ahmad pada puisi Negeri Parahdoks
//di negeri ini/hutan-hutan kita paru-paru dunia/paru-parunya terbakar marahlah dunia/.../.../di negeri ini/orang bijak bayar pajak/sudah bayar malah dibajak/...//.
Novia Rika dengan “Puncak Cinta”-nya. Berikut cuplikan Puncak Cinta itu //......./Buat apa kau bakar nafsumu/Pada ilusi secerah warna mentari/Paha-paha terbuka/Dada-dada menggoda/Bibir-bibir merona/Tak 'kan mengajarkanmu cinta/Cinta tertinggi ada pada wanita/Yang mengendapkan cintanya dalam hati/Membiarkannya perih/'Tuk membuka jiwa yang murni//.
Nunung Noor El Niel penyair kelahiran pada puisi berjudul “Sampah”
//.../seperti sampah yang membusuk /menjadi timbunan-timbunan menyengat /
hanya untuk penampungan hasrat /ingin tumbuh subur sebagai benalu /
yang dipupuk dengan hujatan-hujatan/....//. Nur Fajriyah peyair muda asal Indramayu pada puisi Punggung yang Pergi (Ayah) menarik juga untuk direnungkan , sedang Osratus penyair Purbalingga yang tinggal di Sorong dalam puisi “Sebungkus Protes Rebus (untuk diriku)”/....// Halilintar, menyambar teko egoku/ Tutup telinga tutup hati, tidak mau aku/Mungkin, dia ingin mengatakan sesuatu/ Tapi usai berkoar, sembunyi di ketiak soreku/ Kapan kita duduk bersama, halilintarku?/...//. Rini Garini perempuan penyair ini menulis Dongeng Sebelum Tidur berikut cuplikannya ://.../Tikus-tikus beranak pinak /Layaknya gelombang pasang mereka berarak-arak /Mereka tak tahu lagi pijakan dan kehilangan pandangan/tikus berubah jadi buaya yang menakutkan / Jaring-jaring kata menjadi siloka yang tak bisa diterka/cicak-cicak selalu usil mengawasi gerak-gerik mereka/ perseteruan makin bergelora dan penuh prasangka/ Kedua belah pihak saling memasang perangkap./Kata-kata tak pernah senyap./Riuh suara-suara dalam udara pengap//.
Riswo Mulyadi penyair dari Banyumas juga menulis tentang guru dalam puisi Doa Seorang Guru di Hari Guru//.../Tuhan, karuniai aku ilmu yang dapat kuberikan di sisi amalku/sedikit saja, tak apa/asalkan mereka tercahayai/Tuhan, jangan tunjukan pada muridku, lauk yang kusantap/biarkan mereka melahap sarapan paginya dengan nikmat/agar di kelas mereka tetap semangat/...//. Riza Umami penyair muda belia dari Indramayu dalam Anugerah Tuhan//.../Pahamilahh./Resapilahh.. /Tuhan begitu adil /dan pada akhirnya /Semua yang kita lakukan akan mendapat balasanNya / Balasan yang begitu bijak /bijak dari apa yg kita perbuat /dan Tuhan akan tunjukkan kasih sayangNya.//.Sahadewa penyair dari Kupang menulis puisinya berjudul “Apa itu yang berbeda” berikut petikannya://.../Apa itu yang berbeda/Aku berkulit legam eksotis/sedang kulitmu bagai dipernis/Mulutku merah karena sirih pinang/sedang bibirmu bergincu bersulam benang/...//.Samsuni Sarman Penyair dari Banjarmasin menulis puisinya yang apik berjudul Percakapan di Runway//..../Maaf, saya ke Amrik bukan untuk selfi kok/cuma belajar bagaimana mengatur tambang emas di Papua/dan beberapa tambang minyak di lepas pantai/tentu untuk masa depan investasi yang lebih baik/dan saling menguntungkan, ya kan/...//.
Slamet Widodo penyair Solo yang bermukim di Jakarta pun menulis “Republik Dagelan” untuk Sakarepmu ini //.../...//Yang Mulia ............hamba saluut keberanian Paduka/melanggar etika dengan santun didepan mata/ hamba saluud keberanian paduka/mempertontonkan opera sabun dengan telanjang/hamba saluud keberanian paduka/melecehkan rakyat dengan tegas lugas dan tega/Yang Mulia ......../hamba salud keberanian paduka/berani dimaki .... berani dikutuk / berani diludahi .... berani dibajing bajingkan/ tak semua orang punya mental seperti paduka/bisa ceria menutup mata /....//. Sokanindya Pratiwi Wening dari Aceh di puisi “Indonesia Sakit” berikut cuplikan syairnya ://..../kalau para yang mulia itu sakit/aku juga sakit/sakit jiwa!/dulu memilih para pencoleng itu/mencoleng harta ibunya sendiri...!//.
Sunaryo JW dari Padang Lawas Utara dalkam puisinya “Sajak Tong Kosong”
//.../Ini adalah kaki yang lelah berjalan/Mendaki gunung, menyeberang lautan/
Mencari emas, menangkap ikan/Tapi kau kubur dan kau tenggelamkan./
Kau rekreasi ke luar negeri./Kami mati,/Kau menikmati selangkangan lagi!/.../
.../Begitulah kini Indonesia!//.
Sus S . Hardjono penyair dari Sragen menuturkan tetang” Candi”, sedangkan Suyitno Ethex menulis “Telatah Mojopahit”
//.../orang-orang salah kaprah mau benar sendiri/tak ada yang mau merasah salah, bila membohongi/hanya karena ingin kepuasan cepat tersaji/kalau semua sakarepe, jangan keblablasan/hingga lupa sejarah peradaban/yang susah, yang ditinggalkan/
karena bukan jamannya yang edan/tapi manusianya yang kehilangan/olah pikir yang keblablasan//. Tonganni Mentia perempuan penyair ini menulis “Pedati Senin Pagi” sedang perempuan penyair lainnya Tutik Hariyati S asal Sumedang menulis puisi “Siapa Mau Bicara Pertama”//.../Ketika keluarga makan bersama/Siapa mau bicara pertama/Besok besok /Berjalan apa adanya saja/Bu kenapa menu tak seperti biasa.//.
Ustadji Pantja Wibiarsa dalam Pelangi Jatuh, seperti cuplikan tulisannya :
//..../di dalam rumah, di pringgitan, di pendapa, di pelataran
di gapura, di jalan, di hati nurani orang-orang bermata tajam
tahukah kau, pelangi itu sedang dalam perjalanan
mengemban tugas dari penciptanya dengan misi penyelamatan
menyebarkan pengetahuan tentang perawatan dan pelestarian/........//.
Wadie Maharief penyair dari Yogyakarta mengungkap “Guru” dalam puisinya berikut cuplikannya: //....../Aku telah lama jadi bekas murid/tapi kau mungkin sudah jadi pensiunan guru/Kau tidak diingat ketika bekas muridmu jadi orang hebat/
kaya raya dan terkenal,/ tentu ini yang kau inginkan pada setiap muridmu/
Kau tidak salah ketika bekas murid ada yang jadi maling,/copet atau koruptor dan bahkan teroris, /ini pasti tidak pernah kau inginkan pada setiap muridmu/...//.
Wahyu Hidayat peyair dari Telagasari, Kepada Mantan berikut cuplikannya.
//.../aku telah menjadi debar yang lain bagimu. /dan sesungguhnya hujan dan malam tak perlu lagi kaurindukan,/jika semata mereka adalah jembatan untukmu mengingat masa lalu. /...//. Wans Sabang penyair dari Jakarta menulis “Segeralah Ajal!”
"Ajal, apa orang mau mati masih perlu bantal dan guling?" Di temani bantal-bantal empuk beserta guling gemuk berisi bulu-bulu angsa. Selang inpus meringkuk di ranjang tidur. Sering kusebut sebuah nama. Entah nama siapa? Yang jelas bukan nama Tuhan. Sementara para iblis dan malaikat menunggu di ruang tamu, berebut untuk saling merenggut ruh yang telah lama ku simpan di palung tubuh./ ...//. Wardjito Soeharso, peyair dan Budayawan asal Semarang memberi puisi berjudul ”Main Bermain” //.../Bermain tali/: terjerat/Bermain mata/: dusta/Bermain gila/: lupa keluarga/Bermain cinta/: duh, indahnya.//. Tampaknya Wardjito terinspirasi filosofi Jawa yang sering diungkapkan dalam keseharian yang kadang dilupakan, padahal jika direnungkan dapat sebagai pegangan dalam melangkah, keunggulan puisi ini adalah susunannya dimana baris-baris terakhir adalah sebuah klimak yang membuat penutup puisi tersenyum. Karakter Wardjito yang melekat adalah gemulainya puisi, meski pesan kadang 'mendobrak tetap memiliki keindahan puisi.
Wirol Haurissa penyair asal Ambon berjudul “Tamu” ciplikannya sebagai berikut ://.../aku turun bawakan oleh-oleh/sebuah lautan dan gunung dari sebarang/
jawabmu terserah /aku terima dengan kehangatan/seperti matahari tumbuh di atas pagi/kau berbisik, berikan padamu/aku jawab terserah/...//. Kemudian Yuditeha penyair asal Solo pada puisi “Reshuffle Kebelet” meulis ://.../suara klakson memantul di tembok ruang/dan sebagian serpihannya menancap ke daun telinga/membakar niat hingga menghanguskannya/barisan mata berlomba menonjolkan biji-bijinya/bernapsu memenangi sesuatu/yang sebenarnya bisa diurai damai/...//. Zaeni Boli peyair kelahira Flores yang bermukim di Bekasi ini pun turut dalam puisinya Tanggal yang Keliru, seperti cuplikaya: //Menjadi beling di matamu/Yang tajam dan indah adalah tatapan/Yang kanan dan kiri dalam ingatan adalah senyum/Dena/Bunga mekar/Kembang kuncup/Juga jamur di atas tai kebo/Adalah layang-layang putus dari imajinasi hari sabtu/...//.
Keragaman puisi-puisi Sekarepmu memiliki kesan yang sama yakni sebuah kecintaan terhadap negeri ini , tetapi ada yang menyoroti tentag guru ,tentang alam, tentang kesendirian, tentang cinta, bahkan tentang gagasan antologi ini, yang diungkapkan dalam bahasa penyair tersendiri dengan berbagai sifat ungkapan yang dikemas pada frase-frase pilihan sehingga merupakan diksi yang membawa puisi itu menarik dibaca.
Tiada adil jika mengupas beberapa puisi sakarepmu, dengan berbagai sudut pandang, apalagi satu –persatu , hanya sebuah pembuka sakarepmu agar menjadi kenangan indah. Apresiasi selanjutnya tentu pada pembaca, puisi-puisi Sakarepmu sangat menghibur dan makna yang luas.
Akhirnya kita dapat menangkap bahwa sesungguhnya telah terjadi protes terhadap apa yang tidak selaras dalam kehidupan di republik ini yang diungkapkan bahasa penyair dalam bahasa puisi. Dan penyair hanya bisa berharap dan memberikan sumbangsih untuk penyelamatan ruh negeri ini.
Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM tinggal di Indramayu.17-12-2015